Jumat, 21 April 2017

Review Split Thriller Dengan 23 Karakter


Walaupun aku nggak membenci karya-karya blockbuster-nya beberapa tahun lalu, aku termasuk yang juga excited ketika sineas M. Night Shyamalan (pembuat The Sixth Sense, in case ada yang lupa) kembali ke ranah thriller. Sayangnya film kerja sama pertamanya dengan produser spesialis film horor-thriller bujet hemat, Jason Blum (Paranormal Activity, Insidious), berjudul The Visit (2015) nggak tayang di bioskop Indonesia. Padahal—untung masih rilis DVD resminya—menurutku film tentang kondisi kejiwaan misterius pasangan kakek-nenek yang membahayakan dua cucu mudanya itu adalah film Shyamalan yang paling menggigit sejak Signs (2002), which is quite a while. Karena The Visit pula, aku juga ikut semangat ketika Shyamalan dan Belum kembali hadir lewat proyek thriller terbaru yang konsepnya tak kalah menarik, dan somehow masih berhubungan dengan kondisi kejiwaan, Split.

Aku review sedikit sinopsisnya, Tiga gadis remaja, Casey (Anya Taylor-Joy), Claire (Haley Lu Richardson), dan Marcia (Jessica Sula) tiba-tiba diculik dari sebuah mal, kemudian disekap di sebuah ruang tertutup oleh seorang pria misterius berkepala plontos (James McAvoy). Entah apa motif penculikan tersebut, namun yang lebih mengherankan dan bikin frutrasi adalah pria tersebut mengidap kepribadian jamak: kadang mengaku namanya Dennis yang kaku dan suka bebersih, kadang jadi ibu-ibu bernama Patricia, kadang jadi anak kecil bernama Hedwig, padahal orangnya dia-dia juga. Sehingga, setiap upaya ketiga gadis malang itu untuk meloloskan diri tak bisa dijalankan dengan sempurna lantaran sikap dan langkah si penculik sulit diduga. Di sisi lain, pria tersebut juga ternyata rajin mendatangi seorang psikiater, Dr. Karen Fletcher (Betty Buckley), orang yang percaya pada pengakuan pria tersebut bahwa ia memiliki 23 kepribadian berbeda. Masalahnya, kepribadian-kepribadian yang baik tak selalu yang memegang kendali atas tubuhnya itu.



As always, sulitnya mengulas film thriller misteri adalah gimana caranya jangan sampai terlalu banyak mengungkap misterinya demi keasyikan kita bersama, terutama yang belum nonton. Untuk film-film macam ini, ketidaktahuan adalah kenikmatan *aaiih*. Split bukan pengecualian, awalnya aku kira arahnya ke mana tetapi kemudian belokan-belokannya tak selalu sesuai kiraan. Yang pasti, buat aku film ini menuturkan misterinya dengan enak. aku nggak merasa jalan cerita filmnya sok misterius atau terlalu berusaha keras membuat penonton kecele, malah semuanya sudah in plain sight, hanya ternyata di baliknya ada "lebihan" yang semakin lama semakin bikin penasaran untuk digali. Salah satu bagian tersebut yang mungkin paling aman aku bocorkan di sini bahwa film ini nggak menyorot kondisi split personality hanya sekadar sambil lalu, dan bukan cuma itu satu-satunya persoalan psikologis/psikiatri/apapun itu yang diangkat dan dimasukkan dalam ceritanya.

Hal lain yang mungkin juga agak aman aku ungkap di sini adalah bagaimana film ini "dibawakan". Film ini dilabeli thriller, namun menurutku film ini nggak termasuk "murah thrill", nggak setiap berapa detik ditaruh adegan-adegan bikin panik, dan aku rasa inilah yang akan membuat Split terkesan nggak se-"menghibur" The Visit. Meski demikian, Split buat aku berhasil memunculkan thrill itu dari konsepnya yang "sakit", dan bagaimana konsep itu diolah sembari menggulirkan kisah karakter-karakternya dengan sensibilitas. Sama seperti ketiga gadis yang disekap, aku sebagai penonton nggak tahu pasti apa yang akan ditemui selanjutnya dalam cerita, dan buatku itu tetap sebuah thrill, yang bikin perhatian aku terpaku terus ke layar. Apalagi, film ini menampilkan pemain yang oke-oke, dengan McAvoy, Taylor-Joy, dan Buckley yang jadi dedengkotnya—sayang dua korban penculikan lainnya nggak bisa mengimbangi. Plus, seperti film-film Shyamalan sebelumnya, film ini kembali menunjukkan keterampilan doi dalam mengarahkan adegan-adegan yang simpel-minimalis dan andalkan dialog, tanpa harus menggunakan pilihan dan susunan kata yang ketinggian.

Jika The Visit kembali mengingatkan akan kemampuan Shyamalan dalam bikin thriller yang memang mencekam, maka Split mengingatkan aku bahwa dia punya ide dan konsep yang keren-keren, yang bisa dieksekusi juga dengan baik asalkan punya faktor-faktor pendukung yang tepat. Menurutku itulah sisi Shyamalan yang seharusnya lebih banyak disorot, bukan soal twist lagi twist lagi—kalau demennya cuma twist ya tonton aja film-film roman remajanya Screenplay Films yang twist-nya nggak mau kalah sama donat plintir. So, di manakah posisi Split di antara karya-karya Shyamalan lain yang unik-unik itu? Buatku, film ini bukan The Sixth Sense, Unbreakable, atau Signs—trinitas film terbaik Shyamalan dalam catatanku :). Dari production value-nya aja ketahuan Split ini jauh lebih sederhana, dan cuma ada McAvoy satu-satunya pemain terkenal (yang kemumpuniannya paling terjamin) di film hemat biaya ini. But, it's quite up there. Film ini tetap bisa memaksimalkan dampak dalam kesederhanaannya, dengan masih memberi perhatian pada karakterisasi serta pembangunan sebuah dunia yang utuh dan nggak sulit dipahami, sehingga aku pun bisa menikmati film ini hingga detik terakhirnya. Iya, termasuk credit title-nya yang konsepnya remeh tapi keren itu :D.

Conclusion film ini wajib ditonton buat kamu yang suka banget sama film thriller!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.